MEMAHAMI KEARIFAN LOKAL PADA PERMASALAHAN CHILD MALTREATMENT
Oleh: Duta Nurdibyanandaru
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
MAKALAH TEMU ILMIAH IPPI V
ABSTRAKOleh: Duta Nurdibyanandaru
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
MAKALAH TEMU ILMIAH IPPI V
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan hidup dalam kemajemukan budaya dan pranata sosial. Saat ini beberapa wilayah Indonesia, tengah dilanda bencana, baik akibat ulah manusia maupun yang alami. Hal ini sudah tentu menambah permasalahan bagi keluarga yang tertimpa musibah atau akibat bencana tersebut maupun masyarakat pada umumnya. Bagaimana mereka menyikapi hal tersebut, bergantung pada bagaimana mereka memberi makna atau memaknainya. Pemberian
makna atas suatu peristiwa atau kejadian diwarnai oleh budaya yang berlaku dan mempengaruhi pemaknaan orang bersangkutan atas segala peristiwa yang dialami dalam kehidupan mereka. Demikian pula dengan masalah maltreatment pada anak. Sering kali kita sebagai psikolog yang notabene dididik dengan konsep dan model-model asesmen hingga intervensi dari Barat, beranggapan bahwa hal tersebut pasti sesuai diterapkan untuk kasus-kasus di Indonesia. Dalam prakteknya, maltreatment yang mencakup aspek emosi dari abuse tidak semudah itu dipahami. Hadiyono (2000: 33-55), dalam beberapa penelitiannya mengenai emosi dan ekspresinya dalam masyarakat, menemukan bahwa mengenai emosi (termasuk ekspresinya) dan komunikasi nonverbal, baik di Indonesia dan di luar Indonesia, banyak yang perlu dipertimbangkan menyangkut pengertian pada tiap budaya mengenai kedua istilah tersebut. Nichols (2004) dari pengalaman mengajar dan praktek terapi keluarga menengarai adanya dua pemaknaan oleh orang tua terhadap arguing (berbantahan) oleh anak, yang dapat mengarah ke maltreatment, yakni: (a) “To present reasons for point of view” dan “to persuade by reason” atau (b) “isn’t an exercise in reasoning; it’s emotional bullying”. Di sebagian masyarakat kita, berbantahan dengan orang tua atau orang yang dituakan adalah hal tabu, bahkan dicap anak durhaka (sekalipun untuk alasan butir a. tersebut). Jika kita melangkah dengan kerangka berpikir ecosystem dari Urie Bronfenbrenner (Santrock, 2004) dalam mencermati masalah child maltreatment, maka nasehat Fontes (2005) DOWNLOAD TULISAN LENGKAP DISINI.
makna atas suatu peristiwa atau kejadian diwarnai oleh budaya yang berlaku dan mempengaruhi pemaknaan orang bersangkutan atas segala peristiwa yang dialami dalam kehidupan mereka. Demikian pula dengan masalah maltreatment pada anak. Sering kali kita sebagai psikolog yang notabene dididik dengan konsep dan model-model asesmen hingga intervensi dari Barat, beranggapan bahwa hal tersebut pasti sesuai diterapkan untuk kasus-kasus di Indonesia. Dalam prakteknya, maltreatment yang mencakup aspek emosi dari abuse tidak semudah itu dipahami. Hadiyono (2000: 33-55), dalam beberapa penelitiannya mengenai emosi dan ekspresinya dalam masyarakat, menemukan bahwa mengenai emosi (termasuk ekspresinya) dan komunikasi nonverbal, baik di Indonesia dan di luar Indonesia, banyak yang perlu dipertimbangkan menyangkut pengertian pada tiap budaya mengenai kedua istilah tersebut. Nichols (2004) dari pengalaman mengajar dan praktek terapi keluarga menengarai adanya dua pemaknaan oleh orang tua terhadap arguing (berbantahan) oleh anak, yang dapat mengarah ke maltreatment, yakni: (a) “To present reasons for point of view” dan “to persuade by reason” atau (b) “isn’t an exercise in reasoning; it’s emotional bullying”. Di sebagian masyarakat kita, berbantahan dengan orang tua atau orang yang dituakan adalah hal tabu, bahkan dicap anak durhaka (sekalipun untuk alasan butir a. tersebut). Jika kita melangkah dengan kerangka berpikir ecosystem dari Urie Bronfenbrenner (Santrock, 2004) dalam mencermati masalah child maltreatment, maka nasehat Fontes (2005) DOWNLOAD TULISAN LENGKAP DISINI.
KLIK DISINI UNTUK MEMBACA ARTIKEL TERKAIT.
KLIK DISINI UNTUK MEMBACA TULISAN-TULISAN SAYA DALAM BENTUK MS WORD, MS EXCEL, MS POWER POIN, PDF.