Setelah menyaksikan berita tentang perilaku agresivitas, perilaku mencuri, perilaku seks bebas, perilaku membolos sekolah, perilaku merokok ,perilaku perkelahian pelajar dan bentuk-bentuk perilaku delinkuen yang lain, yang kian hari kian meningkat dilakalangan pelajar kita. Membuat saya terusik, dan selanjutnya merenung serta berfikir untuk mencari jawaban dari fakta tersebut. Satu hal yang membuat saya dan mungkin "para pembaca" bingung adalah KENAPA SEMAKIN BANYAK PEMBERITAAN TENTANG ADANYA PELAJAR-PELAJAR YANG DITANGKAP OLEH POLISI AKIBAT PERILAKU KENAKALAN YANG DILAKUKAN JUSTERU PERILAKU KENAKALAN DIKALANGAN PELAJAR SEMAKIN MENINGKAT?. Pertanyaan ini mengingatkan kepada saya dengan salah satu koleksi buku yang saya miliki. ,TIPPING POINT, itulah judul buku tersebut, pengarang buku ini adalah Malcolm Gladwell, buku yang dialihbahasakan oleh Alex Tri Kantjino Widodo dan diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta ini adalah salah satu buku yang masuk dalam kategori Bestseller.
TIPPING POINT menggambarkan dan menjelaskan bagaimana sebuah ide, sebuah pesan, dan sebuah perilaku tiba-tiba menyebar seperti wabah penyakit menular yang menjangkiti semua orang yang ikut melihat dan menerima pesan tersebut. Pada bagian buku ini Malcolm Gladwell menggambarkan bagaimana perilaku kriminalitas yang dilakukan oleh Bernhard Goetz pada tanggal 22 Desember 1984, tiba-tiba menyebarkan epidemi perilaku kriminal disemua penjuru kota New York City, tepatnya setelah perilaku kriminal Goetz tersebut diberitakan disemua media masa yang ada di New York City. Akibat pemberitaan tersebut angka kriminalitas tiba-tiba meningkat drastis. Selama tahun 1980-an, di New York City, rata-rata lebih dari 2000 pembunuhan dan 600.000 tindak kekerasan telah terjadi dalam setahun.
Lalu apa hubungannya TIPPING POINT dengan pertanyaan saya diatas?, jawabannya ada dalam buku ini. Dalam buku ini Malcolm Gladwell memberikan penjelasan dengan gamblang, BAGAIMANA SEBUAH PESAN, BAGAIMANA SEBUAH IDE DAN BAGAIMANA PERILAKU YANG DIBERITAKAN dapat dengan cepat mempengaruhi perilaku orang lain.
TIGA KAIDAH EPIDEMI
Pada bagian ini Gladwell menjelaskan tentang kaidah-kaidah yang harus ada dalam pesan, ide dan perilaku tertnetu. Jika ide, pesan atau perilaku tersebut diharapkan dapat mempengaruhi perilaku orang lain. Ada tiga kaidah epidemi menurut Gladwell:
1. HUKUM TENTANG YANG SEDIKIT
Pada suatu petang tanggal 18 April 1775 ada desas desus bahwa Inggris akan segera melakukan serangan besar-besaran Ke Lexington, di barat daya Boston, untuk menangkap para pemimpin gerakan kemerdekaan John Hancock dan Samuel Adams, yang akan diteruskan ke kota Concord. Mendengar berita tersebut kelompok gerakan gemerdekaan segera mengutus dua orang untuk menyebarkan informasi tentang penyerangan yang akan dilakukan oleh Inggris kepada semua rakyat Amerika. William Dawes dan Paul Revere adalah dua orang yang dipilih untuk melaksanakan tugas tersebut. Namun demikian dua orang tersebut menghasilkan sesuatu yang sangat berbeda, Revere mampu menumbuhkan semangat disemua kota yang dilewatinya sehingga kota-kota yang dilewati oleh Revere hampir semua memenangkan peperangan dan membuat pihak Inggris dipermalukan, tetapi hal serupa tidak terjadi di kota-kota yang dilewati oleh Dawes. Kenapa hal ini bisa terjadi, jawabannya adalah bahwa keberhasilan seseorang dalam memberikan pesan sangat ditentukan oleh keterampilan sosial yang dimiliki, dan popularitas yang dimiliki. Revere memiliki keterampilan sosial dan popularitas yang luar biasa, sehingga dia diidolahkan oleh hampir semua rakyat Lexington, itulah sebabnya kenapa pesan yang disampaikan oleh Revere dapat menjadi suatu epidemi "ketok tular" (word of-mouth) dan mampu mempengaruhi perilaku semua orang.
YANG BISA DIAMBIL PELAJARAN BAGI ORANG TUA & PARA PENDIDIK
Sebuah pesan, ide dan perilaku, menurut kaidah diatas, akan dapat mempengaruhi perilaku orang lain, apabila ide tersebut disampaikan oleh orang yang memiliki keterampilan sosial luar biasa dan memiliki popularitas (atau diidolahkan). Jika kita mengacu pada kaidah ini, tentu saja sebagai orang tua dan pendidik kita dituntut untuk memiliki suatu keterampilan yang baik dalam berhubungan dengan para remaja atau pelajar kita, selain itu kita juga dituntut untuk mampu menjadi sebagai sosok yang dapat diidolahkan oleh para remaja atau para pelajar kita, kalau kita ingin semua pesan, ide dan contoh perilaku yang kita berikan dapat diterima oleh para remaja atau palajar kita. Tentu saja kita tidak mungkin bisa memiliki keterampilan yang baik dalam menjalin hubungan sosial dengan para pelajar dan remaja kita, jika kita tidak memiliki pengetahuan tentang perkembangan fisik maupun psikis yang sedang dialami oleh para remaja kita.
Kaidah hukum yang sedikit ini tampaknya telah digunakan oleh para perusahaan TV swasta dan para perusahaan dibidang media, baik cetak maupun elektronik untuk mendongkrak keuntungan usaha mereka. Lihat saja iklan-iklan di TV semua menggunakan orang-orang yang dianggap memiliki keterampilan sosial dan memiliki popularitas atau diidolahkan oleh para pelajar kita. Sehingga tidak heran pesan, ide dan perilaku-perilaku mereka kerap kali dijadikan referensi oleh para remaja kita yang tidak jarang ide, pesan atau perilaku-perilaku tersebut "sangat bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan yang kita berikan". TENTU SAJA DENGAN DEMIKIAN BERKURANG ATAU SEMAKIN MENINGKATNYA PERILAKU DELINKUEN DIKALANGAN REMAJA AKAN SANGAT TERGANTUNG DENGAN KETERAMPILAN KITA DALAM BERHUBUNGAN SOSIAL DENGAN MEREKA. JIKA KITA TIDAK DAPAT MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN TERSEBUT, TENTU PERILAKU REMAJA KITA AKAN DIKENDALIKAN OLEH PARA ARTIS IDOLAH MEREKA.
2. FAKTOR KELEKATAN
Disekitar penghujung tahun 1960-an, seorang produser televisi bernama Joan Gantz Cooney berniat memicu sebuah epidemi. Cooney berniat membuat sebuah program televisi yang fokus pada mengajarkan anak-anak usia tiga, empat dan liam tahun untuk membaca dan menulis. Program tersebut diberi nama Sesame Street dan untuk tujuan tersebut Cooney mengajak para profesional untuk bergabung. Cooney juga melibatkan seorang psikolog dari Harvad University yaitu Gerald Lesser. Lesser yang notabene adalah seorang psikolog pada mulanya merasa pesimis bahwa program Sesame Streeet ini akan berhasil, karena menurutnya untuk mengembangkan keterampilan membaca dan menulis butuh banyak proses, mulai dari identifikasi kapasitas intelektual anak sampai pada pengenalan pribadi masing-masing anak.
Tetapi yang sangat mengejutkan, ternyata program ini berhasil, tidak hanya berhasil menciptakan budaya membaca dan menulis pada anak-anak, program ini juga berhasil meningkatkan prestasi belajar anak di sekolah. Apa rahasia dari keberhasilan ini?, jawabannya adalah Sesame Street mampu menjadikan program yang dibuatnya menjadi sesuatu yang melekat sticky dikalangan anak-anak. Kelekatan itu terbentuk dari penggunaan animasi hidup ala kartun-kartun yang ada di surat kabar untuk mengajarkan cara belajar alfabet, program ini juga menghadirkan para selebriti untuk berdansa dan bernyanyi, selain itu program ini juga melibatkan komedian untuk mengajarkan manfaat kerjasama atau bicara soal emosi.
YANG BISA DIAMBIL PELAJARAN BAGI ORANG TUA & PARA PENDIDIK
Sebuah pesan akan mampu mempengaruhi perilaku, jika pesan tersebut disampaikan dengan memanfaatkan media atau sesuatu yang dapat menciptakan kelekatan pada orang yang menerima pesan, sebagaimana telah digambarkan oleh Gladwell diatas. Coba kita perhatikan sekarang, kenapa para remaja dan pelajar kita lebih suka menghabiskan waktunya untuk mendengarkan lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Pasyah ungu, Peterpan, The Titan, Kangen Band, Ada Band, Hijau Daun, D' Masiv, Changcutter, St-12 dan masih banyak lagi dan kenapa para pelajar kita lebih suka dan lebih mudah menghafalkan lagu-lagu percintaan daripada harus menghafal materi pelajaran di sekolah. Jawabannya adalah, karena para group band yang saya sebutkan diatas mampu menghadirkan sesuatu yang melekat pada remaja dan para pelajar kita lewat lagu-lagu yang mereka nyanyikan. Tentu saja sebagai orang tua dan para pendidik pada akhirnya kita dituntut untuk mampu menghadirkan sesuatu yang dapat membuat para pelajar dan remaja kita lekat dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Untuk tujuan ini tentu saja orang tua dan para pendidik harus memiliki pemahaman tentang minat, kepribadian, serta bakat yang dimiliki mereka, sehingga kita dapat mengarahkan mereka pada suatu kegiatan yang melekat pada diri mereka.
Kalau sebagai orang tua dan para pendidik kita tidak mampu menghadirkan sesuatu yang melekat pada diri mereka. Tentu saja mereka akan lebih memilih pesan-pesan yang disampaikan lewat lagu-lagu yang dinyanyikan oleh band-band kesukaannya daripada harus mendengarkan psan-pesan yang kita sampaikan yang menurut mereka tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan (tidak ada kelekatan). Bisa dibayangkan kalau remaja kita lebih terpengaruh dengan pesan-pesan yang disampaikan lewat lagu-lagu group band idolah mereka, dimana pesan yang disampaikan tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai yang kita ajarkan. Ambil contoh lirik lagu berikut: "Putus nyambung-putus nyambung...." "Jadikan aku yang kedua..." dan masih banyak lagi, tentunya para pembaca lebih tau....belum lagi pesan-pesan yang disampaikan lewat film-film remaja yang belakangan ini semakin tidak mempertimbangkan dampak negatif terhadap perkembangan para remaja kita. Tentu saja tidak menjadi sesuatu yang mengherankan jika semakin hari kenakalan remaja semakin meningkat.
KLIK DISINI UNTUK MEMBACA ARTIKEL TERKAIT.
KLIK DISINI UNTUK MEMBACA TULISAN-TULISAN SAYA DALAM BENTUK MS WORD, MS EXCEL, MS POWER POIN, PDF.