PERKELAHIAN PELAJAR: SIAPA YANG HARUS DISALAHKAN
FAKTA
Perkelahian pelajar memang bukan merupakan masalah baru di Indonesia, tilik saja data Bimmas Polri Metrojaya Jakarta misalnya mencatat jumlah kasus perkelahian pelajar sebanyak 157 pada tahun 1992, meningkat menjadi 183 pada tahun 1994, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 tercatat sebanyak 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas (Tambunan, 2001). Terlihat dari tahun ke-tahun jumlah kasus perkelahian pelajar semakin meningkat, belakangan justeru perkelahian pelajar tidak hanya terjadi pada para pelajar putra tetapi juga banyak terjadi dikalangan pelajar putri. Mungkin para pembaca belum lupa dengan kasus perkelahian gank Nero di Pati, perkelahian pelajar putri di Yogyakarta, dan terakhir kemarin (17/02/2009) liputan 6 SCTV kembali memberitakan perkelahian pelajar putri di Nusa Tenggara Timur, dan hari ini (18/02/2009) sebelum saya memutuskan untuk menulis masalah perkelahian pelajar, Lipulan 6 siang kembali memberitakan tentang pelecehan seksual dengan motif menelanjangi salah satu temannya secara beramai-ramai di dalam kelas. Fakta-fakta ini sungguh sangat menggelikan dan mencoreng lembaga pendidikan di Indonesia dan harus mendapat perhatian yang serius dari berbagai kalangan.
Kalau dulu Paul W Tappan (dalam Atmasasmita, 1985) dan Hurlock (1993) menegaskan bahwa yang membedakan kenakalan antara remaja putra dan putri adalah lebih pada jenis kenakalannya, dimana perilaku-perilaku seperti gelandangan, pergi dari rumah, melanggar lalu lintas lebih sering dilakukan oleh remaja putra. Tampaknya gagasan tersebut semakin tidak relevan dengan kondisi sekarang, hal ini dapat diartikan bahwa perilaku-perilaku remaja kita saat ini telah terlalu jauh mengabaikan nilai-nilai sosiokultural bangsa. Lalu siapa yang harus disalahkan?, apakah masalah kelas ekonomi yang harus disalah?, seperti hipotesis-hipotesis yang selama ini beredar bahwa perkelahian pelajar hanya terjadi pada para siswa dari kelas ekonomi bawah sebagaimana pendapat Albert K. Cohen yang mengatakan bahwa perilaku kenakalan dikalangan remaja adalah disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap remaja-remaja dari kelas ekonomi menengah keatas, sebagai usaha untuk mendapatkan perhatian dari lingkungan sosialnya (Suyatno, 2006). Tentu saja tidak hanya faktor ekonomi yang harus disalahkan, karena faktor ekonomi hanya mempunyai sumbangsih yang tidak begitu signifikan terhadap munculnya perilaku perkelahian pelajar, justeru para orang tua dan para gurulah yang harus disalahkan.
Kenapa harus orang tua yang disalahkan? BACA PENGARUH POLAH ASUH DISINI. dan kenapa harus guru yang disalahkan? mungkin beberapa pertanyaan ini perlu kita renungkan. Sudahkan sekolah mempunyai tenaga Bimbingan dan Konseling?, Kalau sudah, sudahkan tenaga Bimbingan Konseling (BK) menjalankan prosedur penanganan siswa?, Sudahkah tenaga BK melakukan deteksi permasalahan siswa?, Sudahkah tenaga BK melakukan deteksi sosiometri terhadap siswa?, Sudahkah tenaga BK memberikan layanan orientasi, layanan informasi, layanan bimbingan karir, layanan bimbingan belajar, layanan bimbingan sosial, layanan bimbingan pribadi dan layanan konseling?, dan sudahkah sekolah memiliki kualitas pengajaran yang baik?. Kalau beberapa pertanyaan tersebut jawabannya adalah Ya tidak akan kita jumpai lagi kasus-kasus perkelahian pelajar atau sejenisnya.
FAKTOR PENYEBAB PERILAKU DELINKUEN
setidaknya ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan pelajar terlibat pada perilaku perkelahian antar pelajar:
1. Faktor internal, Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks, Kompleks disini berarti adanya keaneka ragaman pandangan, budaya, sosial, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Pada remaja yang terlibat perkelahian adalah disebabkan oleh ketidak mampuan remaja dalam memanfaatkan situasi yang ada untuk mengembangkan dirinya (Tambunan, 2001). Jelasnya bahwa pelajar yang terlibat perkelahian mengindikasikan adanya gangguan emosional yang kurang baik, sehingga mereka sulit untuk mengontrol emosi dan cenderung menghadapi tekanan dengan agresif. Menurut Goleman (1997) koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Seorang yang pandai menyesuaikan diri atau dapat berempati, ia memiliki tingkat emosional yang baik. Kecerdasan emosional lebih untuk memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan serta mengatur kejiwaan. Disinilah pentingnya lembaga pendidikan memiliki tenaga Bimbingan dan Konseling yang selalu siap untuk memberikan bimbingan pribadi dan bimbingan sosial kepada peserta didiknya, supaya tidak terjadi perkelahian pelajar atau perilaku-perilaku agresif lainnya yang disebabkan oleh ketidak matangan pribadi siswa.
2. Faktor keluarga, Rumah tangga yang dipenuhi dengan kekerasan, rumah tangga yang broken home, rumah tangga yang tidak memberikan kehangatan dan ruang untuk berdiskusi juga sangat berpengaruh terhadap munculnya perilaku perkelahian pelajar. Menurut Santrock & Warsak (1979) anak-anak yang mendapatkan pendidikan secara otoriter pada perkembangannya justeru akan memiliki perilaku-perilaku yang antisosial (Santrock, 1995). disinilah pentingnya pemahaman tentang polah asuh bagi orang tua.
3. Faktor sekolah, Apakah sekolah telah memiliki fasilitas-fasilitas belajar yang dibutuhkan oleh siswa, apakah lingkungan sekolah mendukung untuk pengajaran, apakah lingkungan kelas dirasa aman dan nyaman oleh para siswa, apakah materi pelajaran tidak terlalu memberatkan siswa, apakah siswa telah mendapatkan layanan orientasi, bimbingan belajar dan lain sebagainya juga perlu diperhatikan, karena jika kondisi-kondisi tersebut tidak diperhatikan akan dapat menyebabkan terjadinya perilaku kenakalan. Aturan-aturan yang tegas di sekolah juga sangat diperlukan, sebab jika sekolah tidak menerapkan aturan-aturan yang tegas, maka akan sangat mungkin terjadi pelanggaran-pelanggaran atau muncul perilaku-perilaku agresif di sekolah. disinilah pentingnya sekolah memiliki tenaga guru Bimbingan Konseling dan disinilah pentingnya guru BK yang ada disekolah melakukan identifikasi permasalahan siswa, melakukan identifikasi kondisi sosial siswa atau sosiometri untuk mendeteksi permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi oleh siswa dan untuk mengetahui kemungkinan adanya kelompok-kelompok gank di sekolah. Sebagai bentuk usaha pencegahan terhadap munculnya perilaku-perilaku asosial di sekolah.
4. Faktor lingkungan, menurut teori pertukaran sosial sesama individu dapat saling bertukar baik berupa materi maupun non materi (Klein dan White, 1996 dalam Puspitawati, 2006). Pendapat ini didukung oleh teori Differential Association menurut teori yang digagas oleh E. Suthedand ini perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja pada dasarnya adalah merupakan sesuatu yang dapat dipelajari. Asumsi yang mendasarinya adalah "a criminal act accors when situation apropriate for it, as defined by the person, is present' (Rose Gialombardo, 1972 dalam Suyatno, 2006). Artinya lingkungan diantara sekolah dan rumah juga perlu mendapatkan perhatian baik oleh pihak orang tua maupun oleh pihak sekolah, dengan memberikan bimbingan-bimbingan keterampilan sosial supaya siswa tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan yang kurang baik. Dengan bimbingan dan kontrol yang tegas dari orang tua, remaja tidak akan sampai terjerumus kepada cara penyelesaian masalah yang salah, seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini. Menurut teori kontrol pada dasarnya individu dalam masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya, yakni tidak melakukan penyimpangan perilaku (baik) dan berperilaku menyimpang (tidak baik). Baik tidaknya perilaku individu sangat bergantung pada kondisi masyarakatnya. Artinya perilaku baik dan tidak baik diciptakan oleh perilaku masyarakatnya sendiri (Hagan, 1987 dalam Suyatno, 2006). Telah cukup jelas kiranya disini siapa yang harus disalahkan. Sekali lagi yang dapat membuat siswa berperilaku agresif atau tidak adalah lingkungan dimana siswa itu berada.
KESIMPULAN
Perkelahian pelajar pada dasarnya tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi saja, tetapi yang lebih banyak mempengaruhi terjadinya perkelahian pelajar adalah faktor internal (ketidak matangan diri), faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor lingkungan. Demi masa depan anak-anak bangsa yang nantinya akan menjadi generasi penerus, mari kita berasama-sama introspeksi diri, apakah kita sudah menjadi orang tua yang baik buat anak-anak kita?, apakah kita sudah menyediakan lingkungan keluarga yang sehat dan penuh kehangatan buat anak-anak kita?, apakah kita sudah mau mendengarkan keluh kesah anak-anak kita?, apakah kita sudah menjadi guru yang baik?, apakah sekolah sudah memberikan layanan orientasi, layanan informasi, layanan bimbingan dan layanan konseling untuk siswa-siswa kita?, dan apakah lingkungan sekolah kita sudah memberikan rasa aman dan nyaman untuk kegiatan belajar mengajar?. Mudah-mudahan tulisan ini bisa mengusik ketenangan kita terhadap kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan, menuju suatu perubahan untuk kesejahteraan bersama dan tidak ada lagi yang namanya perkelahian pelajar, amin.
PROSEDUR PEMBERIAN BIMBINGAN DAPAT DILIHAT DISINI.Materi dalam bentuk power point, materi ini sangat bagus jadi wajib dibaca oleh para pendidik, saya mendapatkannya dari om google, tapi saya lupa alamat web-nya, jadi saya mohon maaf pada sang penulis karena tidak bisa menyertakan alamat web anda.
PRINSIP PEMBERIAN BIMBINGAN DAN PROSES KONSELING DAPAT DILIHAT DISINI.Materi dalam bentuk power point, materi ini sangat bagus jadi wajib dibaca oleh para pendidik, saya mendapatkannya dari om google, tapi saya lupa alamat web-nya, jadi saya mohon maaf pada sang penulis karena tidak bisa menyertakan alamat web anda.
IDENTIFIKASI SOSIOMETRI SISWA DAPAT DILIHAT DISINI.Materi dalam bentuk file PDF, materi ini sangat bagus jadi wajib dibaca oleh para pendidik, saya mendapatkannya dari om google, tapi saya lupa alamat web-nya, jadi saya mohon maaf pada sang penulis karena tidak bisa menyertakan alamat web anda.
DAFTAR PUSTAKA
Tambunan, Raimon.2001, Perkelahian Pelajar, dalam http://e-psikologi.com, diakses 2004.
Hurlock, EB. 1993, Psikologi Perkembangan Edisi-5, (Jakarta:Erlangga).
Atmasasmita, Romli. 1985 , Problem-problem Kenakalan Anak atau Remaja, (Bandung:Armiko)
Suyatno, Bagong. 2006, Memahami Remaja Dari Berbagai Perspektif Kajian Sosiologis, dalam http://bkkbn.go.id., diakses 2006.
Santrock, John W. 1995.Perkembangan Masa Hidup jilid 2. Terjemahan oleh Juda Damanika & Ach. Chusairi, (Jakarta:Erlangga).
Puspitawati, Herien. 2006, Perilaku Kenakalan Remaja:Pengaruh Lingkungan Keluarga dan Atau Pengaruh Lingkungan Teman.
KLIK DISINI UNTUK MEMBACA ARTIKEL TERKAIT.
KLIK DISINI UNTUK MEMBACA TULISAN-TULISAN SAYA DALAM BENTUK MS WORD, MS EXCEL, MS POWER POIN, PDF.
FAKTA
Perkelahian pelajar memang bukan merupakan masalah baru di Indonesia, tilik saja data Bimmas Polri Metrojaya Jakarta misalnya mencatat jumlah kasus perkelahian pelajar sebanyak 157 pada tahun 1992, meningkat menjadi 183 pada tahun 1994, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 tercatat sebanyak 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas (Tambunan, 2001). Terlihat dari tahun ke-tahun jumlah kasus perkelahian pelajar semakin meningkat, belakangan justeru perkelahian pelajar tidak hanya terjadi pada para pelajar putra tetapi juga banyak terjadi dikalangan pelajar putri. Mungkin para pembaca belum lupa dengan kasus perkelahian gank Nero di Pati, perkelahian pelajar putri di Yogyakarta, dan terakhir kemarin (17/02/2009) liputan 6 SCTV kembali memberitakan perkelahian pelajar putri di Nusa Tenggara Timur, dan hari ini (18/02/2009) sebelum saya memutuskan untuk menulis masalah perkelahian pelajar, Lipulan 6 siang kembali memberitakan tentang pelecehan seksual dengan motif menelanjangi salah satu temannya secara beramai-ramai di dalam kelas. Fakta-fakta ini sungguh sangat menggelikan dan mencoreng lembaga pendidikan di Indonesia dan harus mendapat perhatian yang serius dari berbagai kalangan.
Kalau dulu Paul W Tappan (dalam Atmasasmita, 1985) dan Hurlock (1993) menegaskan bahwa yang membedakan kenakalan antara remaja putra dan putri adalah lebih pada jenis kenakalannya, dimana perilaku-perilaku seperti gelandangan, pergi dari rumah, melanggar lalu lintas lebih sering dilakukan oleh remaja putra. Tampaknya gagasan tersebut semakin tidak relevan dengan kondisi sekarang, hal ini dapat diartikan bahwa perilaku-perilaku remaja kita saat ini telah terlalu jauh mengabaikan nilai-nilai sosiokultural bangsa. Lalu siapa yang harus disalahkan?, apakah masalah kelas ekonomi yang harus disalah?, seperti hipotesis-hipotesis yang selama ini beredar bahwa perkelahian pelajar hanya terjadi pada para siswa dari kelas ekonomi bawah sebagaimana pendapat Albert K. Cohen yang mengatakan bahwa perilaku kenakalan dikalangan remaja adalah disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap remaja-remaja dari kelas ekonomi menengah keatas, sebagai usaha untuk mendapatkan perhatian dari lingkungan sosialnya (Suyatno, 2006). Tentu saja tidak hanya faktor ekonomi yang harus disalahkan, karena faktor ekonomi hanya mempunyai sumbangsih yang tidak begitu signifikan terhadap munculnya perilaku perkelahian pelajar, justeru para orang tua dan para gurulah yang harus disalahkan.
Kenapa harus orang tua yang disalahkan? BACA PENGARUH POLAH ASUH DISINI. dan kenapa harus guru yang disalahkan? mungkin beberapa pertanyaan ini perlu kita renungkan. Sudahkan sekolah mempunyai tenaga Bimbingan dan Konseling?, Kalau sudah, sudahkan tenaga Bimbingan Konseling (BK) menjalankan prosedur penanganan siswa?, Sudahkah tenaga BK melakukan deteksi permasalahan siswa?, Sudahkah tenaga BK melakukan deteksi sosiometri terhadap siswa?, Sudahkah tenaga BK memberikan layanan orientasi, layanan informasi, layanan bimbingan karir, layanan bimbingan belajar, layanan bimbingan sosial, layanan bimbingan pribadi dan layanan konseling?, dan sudahkah sekolah memiliki kualitas pengajaran yang baik?. Kalau beberapa pertanyaan tersebut jawabannya adalah Ya tidak akan kita jumpai lagi kasus-kasus perkelahian pelajar atau sejenisnya.
FAKTOR PENYEBAB PERILAKU DELINKUEN
setidaknya ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan pelajar terlibat pada perilaku perkelahian antar pelajar:
1. Faktor internal, Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks, Kompleks disini berarti adanya keaneka ragaman pandangan, budaya, sosial, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Pada remaja yang terlibat perkelahian adalah disebabkan oleh ketidak mampuan remaja dalam memanfaatkan situasi yang ada untuk mengembangkan dirinya (Tambunan, 2001). Jelasnya bahwa pelajar yang terlibat perkelahian mengindikasikan adanya gangguan emosional yang kurang baik, sehingga mereka sulit untuk mengontrol emosi dan cenderung menghadapi tekanan dengan agresif. Menurut Goleman (1997) koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Seorang yang pandai menyesuaikan diri atau dapat berempati, ia memiliki tingkat emosional yang baik. Kecerdasan emosional lebih untuk memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan serta mengatur kejiwaan. Disinilah pentingnya lembaga pendidikan memiliki tenaga Bimbingan dan Konseling yang selalu siap untuk memberikan bimbingan pribadi dan bimbingan sosial kepada peserta didiknya, supaya tidak terjadi perkelahian pelajar atau perilaku-perilaku agresif lainnya yang disebabkan oleh ketidak matangan pribadi siswa.
2. Faktor keluarga, Rumah tangga yang dipenuhi dengan kekerasan, rumah tangga yang broken home, rumah tangga yang tidak memberikan kehangatan dan ruang untuk berdiskusi juga sangat berpengaruh terhadap munculnya perilaku perkelahian pelajar. Menurut Santrock & Warsak (1979) anak-anak yang mendapatkan pendidikan secara otoriter pada perkembangannya justeru akan memiliki perilaku-perilaku yang antisosial (Santrock, 1995). disinilah pentingnya pemahaman tentang polah asuh bagi orang tua.
3. Faktor sekolah, Apakah sekolah telah memiliki fasilitas-fasilitas belajar yang dibutuhkan oleh siswa, apakah lingkungan sekolah mendukung untuk pengajaran, apakah lingkungan kelas dirasa aman dan nyaman oleh para siswa, apakah materi pelajaran tidak terlalu memberatkan siswa, apakah siswa telah mendapatkan layanan orientasi, bimbingan belajar dan lain sebagainya juga perlu diperhatikan, karena jika kondisi-kondisi tersebut tidak diperhatikan akan dapat menyebabkan terjadinya perilaku kenakalan. Aturan-aturan yang tegas di sekolah juga sangat diperlukan, sebab jika sekolah tidak menerapkan aturan-aturan yang tegas, maka akan sangat mungkin terjadi pelanggaran-pelanggaran atau muncul perilaku-perilaku agresif di sekolah. disinilah pentingnya sekolah memiliki tenaga guru Bimbingan Konseling dan disinilah pentingnya guru BK yang ada disekolah melakukan identifikasi permasalahan siswa, melakukan identifikasi kondisi sosial siswa atau sosiometri untuk mendeteksi permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi oleh siswa dan untuk mengetahui kemungkinan adanya kelompok-kelompok gank di sekolah. Sebagai bentuk usaha pencegahan terhadap munculnya perilaku-perilaku asosial di sekolah.
4. Faktor lingkungan, menurut teori pertukaran sosial sesama individu dapat saling bertukar baik berupa materi maupun non materi (Klein dan White, 1996 dalam Puspitawati, 2006). Pendapat ini didukung oleh teori Differential Association menurut teori yang digagas oleh E. Suthedand ini perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja pada dasarnya adalah merupakan sesuatu yang dapat dipelajari. Asumsi yang mendasarinya adalah "a criminal act accors when situation apropriate for it, as defined by the person, is present' (Rose Gialombardo, 1972 dalam Suyatno, 2006). Artinya lingkungan diantara sekolah dan rumah juga perlu mendapatkan perhatian baik oleh pihak orang tua maupun oleh pihak sekolah, dengan memberikan bimbingan-bimbingan keterampilan sosial supaya siswa tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan yang kurang baik. Dengan bimbingan dan kontrol yang tegas dari orang tua, remaja tidak akan sampai terjerumus kepada cara penyelesaian masalah yang salah, seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini. Menurut teori kontrol pada dasarnya individu dalam masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya, yakni tidak melakukan penyimpangan perilaku (baik) dan berperilaku menyimpang (tidak baik). Baik tidaknya perilaku individu sangat bergantung pada kondisi masyarakatnya. Artinya perilaku baik dan tidak baik diciptakan oleh perilaku masyarakatnya sendiri (Hagan, 1987 dalam Suyatno, 2006). Telah cukup jelas kiranya disini siapa yang harus disalahkan. Sekali lagi yang dapat membuat siswa berperilaku agresif atau tidak adalah lingkungan dimana siswa itu berada.
KESIMPULAN
Perkelahian pelajar pada dasarnya tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi saja, tetapi yang lebih banyak mempengaruhi terjadinya perkelahian pelajar adalah faktor internal (ketidak matangan diri), faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor lingkungan. Demi masa depan anak-anak bangsa yang nantinya akan menjadi generasi penerus, mari kita berasama-sama introspeksi diri, apakah kita sudah menjadi orang tua yang baik buat anak-anak kita?, apakah kita sudah menyediakan lingkungan keluarga yang sehat dan penuh kehangatan buat anak-anak kita?, apakah kita sudah mau mendengarkan keluh kesah anak-anak kita?, apakah kita sudah menjadi guru yang baik?, apakah sekolah sudah memberikan layanan orientasi, layanan informasi, layanan bimbingan dan layanan konseling untuk siswa-siswa kita?, dan apakah lingkungan sekolah kita sudah memberikan rasa aman dan nyaman untuk kegiatan belajar mengajar?. Mudah-mudahan tulisan ini bisa mengusik ketenangan kita terhadap kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan, menuju suatu perubahan untuk kesejahteraan bersama dan tidak ada lagi yang namanya perkelahian pelajar, amin.
PROSEDUR PEMBERIAN BIMBINGAN DAPAT DILIHAT DISINI.Materi dalam bentuk power point, materi ini sangat bagus jadi wajib dibaca oleh para pendidik, saya mendapatkannya dari om google, tapi saya lupa alamat web-nya, jadi saya mohon maaf pada sang penulis karena tidak bisa menyertakan alamat web anda.
PRINSIP PEMBERIAN BIMBINGAN DAN PROSES KONSELING DAPAT DILIHAT DISINI.Materi dalam bentuk power point, materi ini sangat bagus jadi wajib dibaca oleh para pendidik, saya mendapatkannya dari om google, tapi saya lupa alamat web-nya, jadi saya mohon maaf pada sang penulis karena tidak bisa menyertakan alamat web anda.
IDENTIFIKASI SOSIOMETRI SISWA DAPAT DILIHAT DISINI.Materi dalam bentuk file PDF, materi ini sangat bagus jadi wajib dibaca oleh para pendidik, saya mendapatkannya dari om google, tapi saya lupa alamat web-nya, jadi saya mohon maaf pada sang penulis karena tidak bisa menyertakan alamat web anda.
DAFTAR PUSTAKA
Tambunan, Raimon.2001, Perkelahian Pelajar, dalam http://e-psikologi.com, diakses 2004.
Hurlock, EB. 1993, Psikologi Perkembangan Edisi-5, (Jakarta:Erlangga).
Atmasasmita, Romli. 1985 , Problem-problem Kenakalan Anak atau Remaja, (Bandung:Armiko)
Suyatno, Bagong. 2006, Memahami Remaja Dari Berbagai Perspektif Kajian Sosiologis, dalam http://bkkbn.go.id., diakses 2006.
Santrock, John W. 1995.Perkembangan Masa Hidup jilid 2. Terjemahan oleh Juda Damanika & Ach. Chusairi, (Jakarta:Erlangga).
Puspitawati, Herien. 2006, Perilaku Kenakalan Remaja:Pengaruh Lingkungan Keluarga dan Atau Pengaruh Lingkungan Teman.
KLIK DISINI UNTUK MEMBACA ARTIKEL TERKAIT.
KLIK DISINI UNTUK MEMBACA TULISAN-TULISAN SAYA DALAM BENTUK MS WORD, MS EXCEL, MS POWER POIN, PDF.